MAB News

Home»Essay Lepas»Belajar dari Andi Nata yang Pantang Menyerah

Belajar dari Andi Nata yang Pantang Menyerah

andi nata

DITERIMA sebagai kandidiat peraih tiket khusus menjadi mahasiswa Universitas Indonesia membuat peluangku mengantongi Beastudi Etos menipis. Sekolah melarang siswanya yang mendaftar di jalur khusus UI yaitu Prestasi dan Pemerataan Kesempatan Belajar (PPKB), dulu dikenal sebagai Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK), menggandakan pendaftaran di Beastudi Etos dari Dompet Dhuafa.

Jalur PPKB bukan jalur yang menggratiskan semua ongkos kuliah. Karena tidak gratis maka saya, Andi Nata, berniat mendaftar beasiswa lain. Namun sayang, justru harapan itu hampir sirna oleh hambatan birokrasi. Saya tak menyerah. Saya meyakini beasiswa Dompet Dhuafa masih membuka peluang buat saya.

Tertutup peluang di kotaku, Cirebon, Jawa Barat, saya mendaftar Beastudi Etos di regional Bandung, ibu kota provinsi. Proses mendaftar dan tes saya lewati dengan kerja keras. Saya buta dengan Kota Bandung namun tekad yang menggebu-gebu tak menghalangi saya untuk menjalani proses yang sulit. Saya tidur di salah satu masjid di Universitas Padjadjaran menjelang tes seleksi beastudi.

Hasil seleksi bukan syarat utama peserta dipilih Dompet Dhuafa. Syarat utamanya adalah saya harus berhasil menjadi mahasiswa Universitas Indonesia. Beastudi Etos dibuat dengan sasaran mahasiswa di 14 kampus. Perguruan tinggi itu adalah Universitas Syah Kuala Aceh, Universitas Sumatera Utara Medan, Andalas Padang, Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung dan Padjadjaran Bandung, Diponegoro Semarang, Gadjah Mada Yogyakarta, Brawijaya Malang, Institut Teknologi Surabaya, Airlangga Surabaya, Hasanuddin Makasar, dan Mulawarman Samarinda Kalimantan Timur.

Beragam kerja kerasku berbuah manis. Saya diterima sebagai peraih Beastudi Etos. Pengumumannya disampaikan pada dua hari setelah Universitas Indonesia mengumumkan bahwa Andi Nata, namaku, diterima sebagai mahasiswa Teknik Mesin angkatan 2007. Alhamdulillah!

Tapi masalah belum selesai sepenuhnya. Kendati saya mendapatkan banyak pemotongan ongkos kuliah dari UI, toh, saya tetap harus menanggung sisanya, Rp 2,75 juta. Jumlah itu, masih tergolong besar bagi saya. Saya mencoba tetap tenang melewati tahapan ini. Saya meminta penundaan pembayaran selama saya mencari jalan keluar menebus ongkos ini. Jalan keluar itu ketemu juga, saya mendapatkan beasiswa Alumni UI. Kendati masih ada sisa, tapi berkurangnya signifikan. Bebanku tinggal Rp 1,1 juta.

Sisa sebesar itu tetap saja belum bisa saya lunasi langsung. Bekal ibu hanya Rp 100 ritu ketika saya pamit berangkat kuliah. Saya tidak menuntut lebih ke orang tua, karena saya memahami, kala itu keluarga sedang ditimpa krisis keuangan karena ayah berhenti bekerja setelah perusahaannya bangkrut. Kesadaran untuk tidak banyak menuntut juga muncul sebagai anak ketiga dari enam bersaudara. Dengan adik yang masih tiga orang, ayah dan ibu sudah terbebani banyak kebutuhan untuk adik-adik saya. Saya pamit dengan menggenggam satu pesan ibu yang paling saya ingat, “Jangan meninggalkan salat tahajud.”

Syahdan, kuliah dimulai pada Agustus 2007. Program Beastudi Etos masih pada tahap survei calon penerima. Padahal saya sangat berharap banyak ketika mulai kuliah program Etos juga berjalan. Alasannya peraih Beastudi Etos berhak tinggal di asrama. Karena belum dimulai saya tak punya tempat tinggal. Saya tidak mungkin bisa menyewa indekos karena bekal yang sedikit. Terpaksa saya menumpang tidur di kamar teman-teman mahasiswa PPKB yang tinggal di Asrama UI. Selama dua pekan saya berganti-ganti kamar tumpangan. Tujuannya agar tidak terlalu mengganggu pemilik kamar.

Kesulitanku ini mengundang saran dari salah seorang alumni. Entah dari mana dia tahu kondisiku saat itu. Selain saya mendapatkan tawaran gratis makan, saya juga diberikan saran untuk tinggal di

Asrama Yayasan Mata Air Biru yang dikelola alumni Fakultas Teknik UI. Saya diterima tinggal di sana selama dua tahun. Saya harus menempuh perjalanan sejauh empat kilometer menuju kampus karena lokasi asrama yang jauh. Kendati lelah saya bersyukur bisa mendapatkan tempat tinggal.

Masalah sepertinya tak rela meninggalkanku. Begitu soal tempat tinggal terselesaikan, Tagihan melunasi ongkos masuk kuliah ditagih manajemen kampus. Kendati sisa Rp 1,1 juta, saya tetap tak bisa melunasi. Saya balik ke Cirebon, bukan untuk meminta uang kepada orang tua. Saya menuju sekolah dan bercerita kepada Bapak Feri Supeno, gurunya sekaligus Kepala SMA 2 Cirebon. Sungguh besar hati Pak Feri, ia memberikanku uang Rp 1,5 juta. Uang itu berasal dari kantong pribadinya.

Setelah kembali ke kampus, dua bulan kuliah, pada akhir September 2007, tiba lah saat yang ditunggu-tunggu. Beastudi Etos diumumkan, saya salah satu peraihnya. Pemenang berhak mengantongi ongkos semester selama satu tahun, asrama tempat tinggal, dan uang saku Rp 450 ribu per bulan selama tiga tahun. Saya langsung sujud syukur.

Hadiah itu tak bisa langsung dinikmati. Manajemen Dompet Dhuafa mengakui ada keterlambatan memulai program Etos tahun itu. Alasannya jumlah peserta membludak. Keterlambatan itu membuat waktu masuk asrama diundur lebih dari bulan. Tepatnya Oktober, program Etos baru dimulai. Di asrama itu, saya banyak disodorkan beragam pembinaan.

Lewat rutinitas itu, saya menikmatinya. Sepertinya kondisi ini bakal berjalan lama, namun ternyata tidak. Mendadak ada kabar tragis dari Cirebon. Ayah mengalami kecelakaan kerja, tiga jari tangannya terpotong oleh mesin gir pabrik. Karena belum telat, jari itu bisa disambung lagi melalui operasi. Ongkos operasi mencapai Rp 30 juta.

Biaya operasi tak sanggup dibayar orang tuaku. Kondisi dua kakak juga belum mapan betul secara ekonomi. Saya memberanikan diri meminjam kepada pengurus Etos, teman kuliah, kakak angkatan, dan beragam pihak. Walhasil, dana pinjaman terkumpul Rp 25 juta dan langsung dikirim ke Cirebon.

Karena statusnya pinjam, saya wajib melunasi. Saya mulai menyadari masalah yang bertubi-tubi kerap datang bersama jalan keluarnya. Begitu pula dengan persoalan pelunasan utang ini. Jalan keluar itu berupa mengajar siswa sekolah. Maha besar Allah.

Saya memilih mengajarkan matematika, fisika, dan kimia untuk SMA. Menemukan bisnis ini, saya dibantu oleh teman saya. Berkat dia saya memperoleh sembilan anak didik. Upah dari mengajar, harus dibagi 30 persen untuk temanku. Dua kali mengajar dalam sepekan, pendapatan yang diterima mencapai Rp 2,5 – 4 juta per bulan. Setiap upah langsung dibayarkan membayar utang. Selain bersumber dari mengajar, lomba kreatifitas mahasiswa, desain grafis saya ikuti untuk menambah penghasilan. Dalam sebelas bulan, Oktober 2007 hingga Agustus 2008, utang yang terlunasi berbilang Rp 25 uta

Mengajar untuk membayar utang membuatku benar-benar sibuk. Saya kerap pulang ke asrama hingga pukul 12 malam. Banyak program Etos yang tertinggal. Kondisi ini membuatku mendapatkan teguran dari pendamping. Kepada pendamping, saya bercerita kondisi yang terjepit itu.

Saya bersyukur dalam kondisi terjepit, memberi pengalaman bagaimana bekerja keras, tahu cara melobi orang, dan bersikap dengan beragam orang. Pengalaman itu mengubah saya lebih dewasa dan mengendalikan emosinya.

Menginjak tahun ketiga, beasiswa Etos untuk ongkos per semester berakhir. Beasiswa itu ada gantinya setelah meraih beasiswa program peningkatan prestasi akademik hingga lulus. Beasiswa ini bak pintu masuk saya ke dalam zona nyaman. Tidak dipungkiri serba berkecukupan menjadi harapan banyak orang, apalagi mahasiswa. Ibaratnya urusan ongkos kuliah dan ongkos sehari-hari sudah ada, tugasnya hanya belajar dan belajar.

Tapi bagi saya zona nyaman tak sepenuhnya nikmat. Barangkali sejak awal kuliah saya sudah banyak benturan dengan masalah, maka sepertinya saya rindu dengan masalah. Kendati tetap bekerja dengan mengajar privat, ketidaknyamanan mulai membuncah. Untuk mengobati kegundahan, saya memilih berbisnis.

Saya memilih beternak domba dengan modal dari berutang. Berutang tak selamanya buruk, justru jika kita mampu menyikapinya dengan tepat, berutang dapat mendorong pada sikap professional. Sikap professional itu berupa disiplin, kerja keras, tumbuh dari kekhawatiran tidak bisa melunasi utang.

Saya berhutang Rp 8 juta dari beragam pihak. Dana itu untuk membeli lima ekor domba terdiri dari satu jantan dan empat betina jenis domba Garut yang diternakan di Cirebon. Saya memilih bisnis domba bukan tanpa hitungan. Pengalaman menjadi panitia Idul Adha, membuat saya tahu betul soal domba. Selain itu, kebutuhan daging akan terus, sehingga bisnis domba salah satu sektor strategis.

Dengan berbisnis, kesibukanku bertambah. Sabtu-Ahad pergi ke Cirebon mengurus domba. Saat libur panjang, giliranku untuk berguru ke petani domba di Tasikmalaya dan Garut Jawa Barat. Keberuntungan terus bergulir, saya bisa menambah domba dengan uang yang saya menangkan dari beragam perlombaan di kampus. Setahun kemudian saya menjual domba pada musim haji 2009. Satu ekor domba dibanderol Rp 1,5 juta dengan keuntungan 40 persen per ekor.

Saya tak cepat berpuas diri. Saya mencoba mengalihkan domba itu ke Depok. Tujuannya agar bisnisku berkembang. Karena memiliki keterampilan mendesain, saya membuat brosur dan pamflet untuk menjaring konsumen. Di setiap event pelatihan bisnis dan motivasi domba ditawarkan. Kendati banyak yang menolak, toh, ada saja konsumen yang terjaring. Order pertama 10 ekor domba. Puncaknya saya mampu mendatangkan 20 ekor domba dengan omset Rp 32 juta.

Beragam tantangan itu mendorong saya menjaring investor baru. Kesuksesan kecil itu memudahkan saya melobi banyak pihak. Hingga akhirnya saya mampu menghimpun dana Rp 45 juta. Investasi baru itu saya gunakan untuk ekspansi bisnis. Saya membuka kandang domba di Sawangan Depok. Saya bercita-cita membangun bisnis susu kambing ettawa dan integrated farming system.

Jumlah produksi dan penjualan terus terdongkrak. Konsep juga berkembang, saya berusaha mengawinkan bisnis ini dengan model pemberdayaan masyarakat khususnya petani di daerah. Para petani diberikan modal 10 ekor domba. Menjelang hari raya Idul Adha, saatnya panen. Domba diambil dengan bagi hasil yang menguntungkan petani.

Untuk strategi pemasaran, saya melakukan promosi dengan strategi ketika orang membeli kambing kepada kami dan kami pun memberikan hadiah kepada pembeli berupa baju batik. Untuk pembelian kambing pada saat Idul Fitri dan liburan anak sekolah, kami memberikan diskon kepada pembeli berupa voucher liburan ke pemandian air panas. Saya juga memberikan undian kepada pembeli yang berlangganan setiap tahunnya dengan doorprize berupa laptop, seluler dan sebagainya. Pembeli juga mendapatkan jaminan domba yang bagus, jika domba cacat akan kami ganti. Dengan demikian kepuasan pelanggan adalah nomor satu.

Untuk manajemen modal, saya menerapkan sistem bagi hasil. Adapun manajemen karyawan, saya menggunakan model dua gaji yaitu gaji pokok dan tunjangan. Gaji pokok setiap bulan berbilang Rp 600-700 ribu. Sedangkan besaran gaji tunjangan menyesuaikan dengan target dalam pencapaian untuk penggemukan domba. Keuntungan yang kedua adalah bagi karyawan yang berprestasi dalam kinerja dan pencapaian target. Karyawan tersebut, kita berikan hadiah berupa Umroh.

Untuk pemanfaatan teknologi sendiri dalam “Penggemukan Domba Garut”, yaitu saya menggunakan pakan alternatif yaitu ampas tahu ditambah kuning telur. Pakan alternatif kedua saya menggunakan susu sapi pada keadaaan beku, alternatif ketiga dengan kacang kedelai atau kacang hijau.

Saya sadar betul bisnis akan bertahan dan sukses dengan membangun jaringan. Untuk itu saya memanfaatkan jaringan komunitas ESQ, yang saya tergabung di dalamnya. Selain itu saya juga tergabung dengan banyak komunitas lainnya seperti Enterpreneur University, Komunitas Tangan Di Atas. Untuk pengelolaan kompetisi, saya menggunakan paguyuban untuk bersama-sama meningkatkan kesejahteraan petani.

Melalui bisnis itu saya diganjar banyak penghargaan dari instansi pemerintah, Badan Usaha Milik Negara, dan perusahaan swasta. Sekarang saya membuka holding baru pada 2013 di PT. ANS ANDI NATA SUMARI. Perseroan ini bergerak di bidang travel dan sekolah yaitu ANS Travel dan ANS Bussines School. Semua inovasi dan ekspansi bisnis saya terinspirasi kisah Abdurrahman bin Auf yang mengelola bisnis bukan untuk keluarga lagi tapi untuk kemanfaatan sebanyak banyaknya umat manusia.

Ditulis oleh Andi Nata, Alumni Teknik Mesin 2007.

Artikel Asli bisa dilihat di http://www.beastudiindonesia.net/insipirasi-abdurrahman-bin-auf/

Written by

A Passionate Environmental Leaders concern on education styrofoam and waste issues, an NGO enthusiastic, a social worker who commit happily in voluntary works, A Design Thinker and Adviser for youth movement. Find me more at www.bamsutris.com