Category : Essay Lepas

Home»Archive by Category "Essay Lepas" (Page 8)

Rebut Kembali Hatimu !! – Yasmin Mogahed

Reclaim

Oleh Siti Awaliyatul Fajriyah

 Tapi, aku tidak akan lagi menjadi tawananmu. Aku tidak akan lagi menjadi gadis kecil itu yang berbaring terjaga pada malam hari memikirkanmu. Aku bukan lagi anak patah hati yang membuang-buang air matanya untukmu. Cinta tak terbalasku takkan bisa lagi mengahncurkanku. Kau takkan menghancurkanku. Aku tidak akan takluk pada gemerlapnya dirimu dan janji-janji palsumu…. ….. Air mataku bukan lagi milikmu. Dan hatiku bukan lagi tempat suci bagimu.

 

Reclaim Your Heart – Rebut Kembali Hatimu. Yasmin Mogahed berhasil mengemas sebuah wawasan-mencerahkan tentang cinta, duka dan bahagia dalam sebuah buku yang akan membawa kita pergi ke suatu tempat dimana hanya ada kita dan kekasih kita – Tuhan. Setelah sekian lama Tuhan menunggu kita untuk kembali pada-Nya, sadarkah kita bahwa kita sedang dinanti? Bukan tentang apa yang kita bawa untuk-Nya, tetapi mengenai apa yang kita lakukan dalam masa penantian itu.

Hidup ini adalah perjalanan, dan dunia adalah kendaran kita. Kita berangkat dari rumah – Allah, dan kitapun akan kembali pada-Nya. Namun, kita sering lupa bahwa misi kita di dunia itu adalah untuk kembali. Jangan sampai kita terlalu menikmati perjalanan kita dan kita sadar ketika kita sudah tiba di tempat asal kita. Kesadaran setelah kematian akan percuma, ketika kita melewati kematian, kita bukanlah pergi meninggalkan dunia, tetapi kita kembali – pulang. Disitulah hidup kita sebenarnya. Dalam perjalanan kita, kita tidak lagi bersama kekasih kita dalam ruang fisik. Namun kita terikat hatinya kepada Tuhan. Dalam perjalanan itu pula, kita juga akan melihat banyak hal yang menarik hati kita. Disitulah kita sering melupakan bahwa sebenarnya hati kita hanyalah milik Allah. Dalam masa pengembaraan itu, kita harus mempelajari bintang-bintang, pepohonan, pegunungan yang tertutup salju untuk membaca setiap pesan dibaliknya. Jika tidak, kita hanya akan menjadi seperti orang yang menemnukan pesan dalam botol yang dihias dengan indah, namun ia begitu terpikat oleh botolnya sehingga ia tidak pernah membuka pesannya.

Mengapa orang-orang harus saling meniggalkan? Semua di sekitar kita akan datang dan pergi begitu saja, kadang tak meninggalkan bekas. Cinta, duka dan bahagia akan datang dan pergi. Pertanyaan itu adalah tentang sifat dunia sebagai tempat berlangsungnya momen singkat dan keterikatan sementara. Menyakitkan, ya, jika kita mengisi hati kita dengan dunia yang memang diciptakan untuk ketidaksempurnaan dan kefanaan. Orang-orang pergi, apakah mereka kembali?

“karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.”

(Al-Insyirah (94) : 5)”

Terkadang Allah mengambil untuk menganugerahi. Bukankah Allah mengambil suami Ummu Salamah hanya untuk menggantikannya dengan Rasulullah? Apakah Yusuf kembali pada ayahnya? Apakah Musa kembali pada ibunya/ apaka Hajar kembali pada Ibrahim? Apakah kesehatan, kekayaan dan anak-anak kembali pada Ayub? Apapun yang diambil oleh Kekasih kita tidak pernah hilang, dan akan dikembalikan saat kepulangan kita pada-Nya.

Dalam perumpamaan lain, kehidupan manusia di duniaa ini seperti samudera, dan perahu adalah hati kita. Kita yang menggerakkan perahu kita untuk menuju suatu tempat dimana kita bermula, Tuhan. Perahu akan seimbang jika air laut itu tetap diluar, tidak memasuki perahu. Ketika air laut sudah masuk ke dalam perahu kita, maka yang ada hanyalah kegoyahan dan lama-kelamaan kita akan tenggelam. Dunia tidak boleh sampai memasuki hati kita, karena yang akan kita dapatkan adalah keterpurukan. Biarlah dunia menjadi sarana untuk kita menuju-Nya. Namun, ada kalanya badai menghantam perahu kita dan kita tenggelam ke dasar lautan. Menyerah hanya akan membuat kita semakin tenggelam. Saat kita tersadar kita sudah tenggelam, kita harus bergegas mengambil mutiara yang ada di dasar lautan dan menata perahu kita kembali untuk kembali pulang. Dengan demikian, ujian ketenggelaman itu tidaklah meruntuhkan kita, justru akan menjadikan kita memiliki nilai lebih yang tidak didapatkan oleh orang yang belum mendapatkan ujian.

Demi mencintai karunia. Kita melupakan pemberi karunia.  Seorang anak merengek meminta mobil mainan kepada ibunya karena anak-anak lain pun mendapatkannya. Setelah dibelikan mobil mainan terbaik dipasaran saat itu, sang anak menjadi lupa kepada ibu. Ia menjadi malas membantu ibunya, malas belajar dan lebih senang menghabiskan waktu dengna ‘karunia’ itu dibandingkan dengan ibunya. Kemudian ibu tersebut mengambil kembali mainan tersebut agar anaknya mau belajar dan menemani ibunya kembali. Untuk anak-anak yang sangat mencintai karunia, mungkin ia akan sedih, marah kecewa. Berbeda dengan anak-anak yang mengerti bahwa ada karunia yang lebih besar dibanding mobil mainan. Versi yang sesungguhnya, model yang sesungguhnya. Mobil sungguhan. Ibunya menyuruhnya belajar untuk suatu saat dapat memiliki mobil sungguhan itu. Seperti itu pula kita. Mobil mainan itu adalah dunia, dan mobil sungguhan adalah kehidupan kita sebenarnya setelah kita pulang. Jika semua anak menyadari itu, mungkin anak-anak tidak akan sedih ketika mobil minannya jelek atau bahkan sama sekali tak memiliki mobil mainan, ia tidak akan sedih, marah, kecewa ketika teman-temannya menyombongkan mobil mainannya.ia akan berfokus pada bagaimana cara ia mendapatkan mobil sungguhan itu. Semakin kita dapat melihat hal yang nyata, semakin mudah bagi kita untuk merelakan hal yang tidak nyata.

Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Semua urusan baik baginya. Jika endapat kesenangan ia bersyukur, dan bersyukur itu baik baginya. Dan jika mendapat musibah dia bersabar, dan bersabar itu baik baginya.

Turun berat badan, baik atau buruk? Semua itu tergantung pada tujuan. Jika berat badan saya dibawah batas normal dan sudah sangat mengkhawatirkan, maka turun berat badan adalah sebuah musibah. Berbeda halnya ketika kita memiliki berat badan berlebih dan sudah sangat mengkhawatirkan, maka turun berat badan adlaah sebuah hal yang baik. semua tergantung tujuan. Dalam sebuah kegagalan mendapatkan beasiswa, mungkin kita akan bersedih jika tujuan kita adalah dunia. Namun kita akan memetik hal berharga lain dalam kegagalan itu jika tujuan kita adalah kehidupan kita setelah kepulangan. Begitu pula dengan pekerjaan, pasangan hidup dan amanah umat yang kita emban. Semua itu hanyalah alat untuk kita kembali pada-Nya. Jika kita menyadari itu, kita akan berfokus pada bagaimana cara kita “mengendarainya”, bukan pada kendaraan apa yang kita gunakan, berhasilkah semua sarana itu mengantarkan kita kembali ke tempat awal, atau malah melenakan kita dan membuat kita tidak sampai pada tujuan akhir yang merupakan tempat kita bermula juga?

Barang siapa yang telah menghabiskan kehidupannya untuk mencari, ketahuilahbahwa kemurnian dari segala hal dapat ditemukan di dalam sumber. Jika Anda mencari cinta, carilah melalui Tuhan. Jika Anda ingin berpegangan pada keterikatan yang kuat, berikatlah pada Tuhan. Karena selain itu hanyalah sesuatu yang tidak murni tidak pula kokoh. Allah lebih dekat daripada pembuluh darah di leher kita. Mengapa pembuluh darah di leher? Pembuluh ini pembuluh yang paling penting bagi tubuh kita, jika ia terputus, kita segera mati. Bahkan Allah lebih dekat daripada kehidupan kita sendiri. Terkadang kita mencari pertolongan pada pintu-pintu yang mudah kita lihat, yang tentunya itu bukanlah pertolongan sejati. Pertolongan sejati kita bersumber dari Allah, ‘pintu’ yang memang tidak mudah terlihat oleh mata kita.

Kemampuan untuk mudah memaafkan harus didorong oleh kesadaran akan kekurangan dan kesalahan kita sendiri terhadap orang lain. Tapi yang terpenting, kerendahan hati kita harus didorong oleh kenyataan bahwa kita berbuaut salah kepada Kekasih kita setiap hari, dosa dalam kehidupan kita.

Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir.

Kebanyakan orang menasirkan kalimat diatas dengan pendapat bahwa dunia ini adalah kekangan dan penderitaan bagi orang baik, dan kebebasan serta kenikmatan bagi orang kafir. Penulis menggambarkan pemikirannya dalam sebuah cerita. Seorang anak kecil yang sakit parah. Kesakitan itu merupakan kesakitan fisik, bukan jiwa. Jika ia lepas dari wujud fisiknya, tentu kesakitan itu akan hilang. Anak yang menyadari bahwa kesakitan itu adalah penjara, ia menyadari akan ada keadaan dimana kesakitan itu menghilang. Sehingga ketika ia dipisahkan dengan wujud fisiknya, ia akan berserah diri. Berbeda jika anak itu beranggapan bahwa kesakitan itu adalah surga. Keadaan dimana semua orang memanjakannya dan melayani apapun yang ia mau. Ketika ia dipisahkan dengan wujud fisiknya, ia akan menolak karena keadaan itu adalah surganya, tujuannya. Betapa meruginya ia yang sedang dalam keterpurukan namun merasa bahwa itu adalah surga. Orang beriman, jiwanya melekat pada kehidupan sejati, namun orang kafir melekatkan jiwanya pada kehidupan yang sakit ini.

Kita memberi makan tubuh kita karena jika tidak tubuh kita akan mati. Tapi, begitu banyak orang yang membiarkan jiwanya kelaparan. Lupa bahwa jika tidak mengerjakan shalat, jiwa kita akan mati. Dan ironisnya, tubuh yang kita rawat ini bersifat fana, sedangkan jiwa yang kita abaikan justru bersifat abadi. Ketika sedang belajar, berbelanja dan rapat, kita akan ijin jika kita hendak buang air kecil. Karena jika tidak, hal memalukan dan menyakitkan akan menimpa diri kita. Namun berbeda halnya jika adzan berkumandang sat kita belajar, berbelanja dan rapat. Kita akan cenderung menunda bahkan kadang melupakan shalat. Jika kita telisik lagi sejarah perintah shalat, mulanya Allah memerintahkan kita dengan 50 waktu shalat. Kemudian Rasulullah meminta keringanan menjadi 5x karena jika 50x waktu shalat, kita tidak akan bisa melakukan hal lain. Kita renungkan disini, Allah menugaskan kita untuk shalat 50 waktu dalam sehari menyiratkan bahwa, hiduplah untuk shalat. Namun sekarang, bahkan shalat kita hanya jadikan penyela waktu rutinitas kita yang seharusnya rutinitas itu enjadi sela antara shalat-shalat kita.

             Tuhan kita turun selama sepertiga malam terakhir ke langit pertama dan berkata, “ Apakah ada yang berdoa kepadaku untuk kemudian aku kabulkan? Apakah ada yang meminta kepadaku untuk kemudian kuberi? Apakah ada yang memohon ampunanku untuk kemudian kuampuni?”

Sumber segala kehidupan sudah menawarkan ketiga hal yang begitu kita cari, namun kebanyakan dari kita ‘tidak waras’ dengan meninggalkannya. Dan bahkan beberapa diantara kita yang berusaha bangun di sepertiga malam tanpa mengetahui esensi pertemuankita, hanya sekedar untuk bangun dari tidur tanpa endapatkan apa-apa.

Untuk menilai sebuah buku, kita harus membacanya sebagai sebuah satu kesatuan dan berurut. Tanpa mengetahui keseluruhan ceritanya, kita tidak berhak menilai sebuah buku. Tulisan ini hanya bayangan dari sosok asli buku ‘Reclaim Your Heart’. untuk mendapatkan manfaatnya secraa utuh, sangat direkomendasikan untuk membaca buku tersebut, dan semakin dalam kita menyelami buku in, kita akan semakin menemukan titik asal kita bersama Tuhan kita, -yang seharusnya menjadi- Kekasih kita.

Keluarga dan Tujuan

Tujuan adalah indikator kehidupan seorang manusia. Suatu hal yang akan memberi bantuan menemukan arah jalan, pemberi nasihat akan  keputusan krusial, dan penentu jati diri dari seorang ikhwah. Mempertahankannya lebih sulit daripada menemukannya dan  bukanlah suatu jaminan kesejahteraan untuk tetap teguh pada sebuah tujuan. Kegigihan, keyakinan, doa, kesabaran,  dan prinsip tegas, adalah satu paket wajib dalam ikhtiar mendapatkan esensi hidup tersebut.

Bukan suatu tujuan jika tidak terdapat rintangan didepannya. Tujuan dan rintangan, dua hal yang akan selalu berhadapan satu sama lain, dan saling memperebutkan jiwa seorang manusia. Untuk tetap memposisikan diri pada jalan menuju tujuan awal dibutuhkan pondasi  dan pagar-pagar kokoh yang akan membatasi kita dari jalan lain. Pondasi yang kokoh berasal dari dalam diri sendiri dan pagar yang kokoh bergantung pada kondisi lingkungan sekitar.

Yayasan mata air biru, telah menjadi bagian dari sebuah perjalanan hidup. Berawal dari bantuan untuk memberikan tempat tinggal, menjadi tempat pertemuan dengan orang-orang yang unik. Tempat  belajar keikhlasan melakukan kebaikan sampai belajar akan usaha mencari sebuah kebenaran. Tempat sebuah keluarga yang akan menjadi bagian cerita. Keluarga yang akan membantu saya mendapatkan tujuan saya.

IMG_8926

Penulis : Bayu Eko Prasetyo, Mahasiswa Teknik Metalurgi dan Material angkatan 2012, Penerima Beasiswa Pondokan MAB. Bayu, mahasiswa asal Ngawi, Jawa Timur ini aktif dalam Organisasi FUSI FTUI

Keluarga Baruku, Pondokan MAB

Nama saya Raja Fitrah Aulia Nurfalah, saya berasal dari Tasikmalaya lalu pindah ke Garut karena keluarga Ayah saya berada di Garut. Memang sudah menjadi hal yang mutlak bahwa nasib setiap orang itu berbeda-beda meski seseorang itu berasal dari rahim yang sama. Ya memang jika ada seseorang yang bernasib dari sejak kecil mereka hanya berperan layaknya seorang anak kacil biasanya maka untuk saya dan mungkin adik saya berbeda, dari sejak kecil saya hidup sebagai orang yang dituntut untuk bekerja keras. Saat bayi saya harus tinggal bersama nenek dan terpisah dari Ayah serta Ibu karena Ayah tak sanggup menghidupi dua bayi sekaligus di masa pernikahannnya yang masih sangat muda, saat itu Ayah mengalami musibah perekonomian karena status pendidikannya serta beberapa masalah perusahaan yang harus melibatkan semua pekerja. Keadaan menjadi sangat berat ketika saya yang masih sekolah dasar dan baru bertemu dengan orang tua saya mendapati kondisi mereka dalam keadaan sakit parah. Tentu saja dari kondisi tersebut kami berdua sebagai anak yang masih sangat polos tiba-tiba terpukul melihat kondisi orang tua kami tergeletak tak berdaya di atas tempat tidur. Nenek sempat menawarkan supaya saya dan adik saya tinggal bersamanya, namun Ibu menolaknya karena mereka merasa tidak berdaya jikalau anak yang menjadi semangat hidupnya hilang dari pandangannya. Sejak saat itu, masa kanak-kanak kami menjadi tidak biasa, di usia sebiji jagung kami harus menahan diri untuk tidak jajan setiap hari saat dimana anak-anak lain merengek-rengek meminta jajan, kami harus berkeliling kampung  menjual hasil ladang nenek untuk mencari makan saat dimana anak lain bermain-main hingga sore menjelang malam, kami harus makan seadanya bahkan belajar berpuasa saat nak lain memuntahkan makanan mereka karena tak suka.

Sebenarnya ini bukanlah cerita bergendre perjuangan atau novel bernuansa kesedihan atau bahkan saya yang memelas untuk dikasihani, tetapi ini adalah kisah hidup seorang manusia biasa yang mungkin dapat diambil manfaat serta pelajarannya hingga ia yang biasa itu mampu meneruskan pendidikannnya ke universitas terkemuka di Indonesia, karena baginya ini adalah sebuah anugerah dan kebanggaan yang luar biasa.  Apa yang membuat hal itu tak biasa? Ketika dimana kau menemukan ranting yang kering, maka dipikiranmu hanya ada sebuah benda yang tak berguna, kering, layu, mati, dan hanya menjadi bala / pengotor. Bahkan mungkin kau hanya akan mengacuhkannya saja. Seperti itu lah saya, seperti ranting yang kering tetapi tiba-tiba menghasilkan api apabila digesekan dengan permukaan ranting satunya hingga kau mampu melihat api sampai sekarang. Saya seorang anak petani dan pegawai yang tak tentu pekerjaannya, saya hanya seorang anak kecil yang berasal dari pelosok bagian bumi, mampu masuk ke universitas yang sebagian besar orang sulit untuk bersekolah disana. Hal yang membuat saya terharu dan bangga adalah ketika saya mengingat berbagai perjuangan yang telah saya lakukan apapun itu dan saya lakukan dimanapun itu, tidaklah berujung sia-sia.

Awalnya saya menganggap bahwa masuk ke Universitas Indonesia membutuhkan biaya yang besar, dan ternyata dugaan saya memang benar. Bagi kondisi keluarga kami saat ini masuk dan membayar biaya sekolah serta biaya kehidupan sehari-hari di UI itu memang berat, ditambah lagi UI berada di pusat pemerintahan yang tentunya memiliki mutu perekonomian yang berbeda dibandingkan dengan di daerah asal tempat saya tinggal. Dari sana Ayah saya mulai kebingungan untuk mencari biaya kuliah, hingga akhirnya saya mendapat bantuan dari sebuah yayasan yang memberi tempat tinggal di UI tanpa memungut biaya sepeserpun. Malah saking beruntungnya saya, saya juga mendapatkan berbagai fasilitas yang sangat-sangat bermanfaat yaitu les TOEFL gratis, sembako gratis, jadwal rutin olah raga, gathering, saling berbagi pengalaman dengan orang-orang hebat serta penting, dan masih banyak lagi. Yayasan Mata Air Biru, begitulah nama dari sebuah yayasan yang berdiri sejak tahun 2003 oleh Ibu Sri Dijan Tjahjati bersama para alumni Fakultas Teknik UI yang mau membuka hati dan pikirannya untuk menyisihkan uang demi membantu saudara dan adik-anik juniornya untuk mempermudah perjuangan mereka selama menuntut ilmu di UI, benar-benar luar biasa alumni ini. Di Yayasan MAB ada lima jenis beasiswa yaitu Baesiswa Pondokan, Beasiswa Reguler Mahasiswa, Beasiswa Reguler Anak Karyawan FTUI, Beasiswa Skripsi, dan Beasiswa Prestasi. Dengan keadaan pondokan yang lebih dari layak untuk dihuni, saya sebagai anggota baru penerima beasiswa MAB ini merasa sangat bahagia karena ternyata masih ada orang yang mau memberikan sebuah ladang amal bagi saya dan penghuni lainnya untuk menuntut ilmu.

Hari demi hari dan bulan demi bulan telah berakhir, dan saya sekarang sudah hampir satu semester menjadi penghuni di pondokan MAB. Satu hal lagi yang membuat saya sangat terkesan, yaitu rasa kekeluargaan tinggi yang disebarkan dan ditularkan dari individu ke individu sehingga saya merasa selalu berada di rumah dan merasa seperti layaknya bersama keluarga sendiri. Sifat kepedulian yang sangat kental serta rasa saling memahami satu sama lain membuat rasa kekeluargaaan itu semakin mendarah daging di hati kami masing-masing. Kakak yang selalu menghawatirkan adiknya dikala sakit, adik yang tak sungkan membagi makanan dan barangnya kepada kakaknya, canda tawa yang mewarnai tiap langkah kaki kehidupan saya hingga saya merasa sudah tak cemas lagi sendirian dalam kerasnya hidup berada di tengah kerumunan orang-orang di kota rantauan, saya tak takut lagi saat kesulitan menghampiri, saya yang merasa lega karena saya punya banyak keluarga, saya tak sedih lagi berpisah dengan Adik, Ibu, dan Ayah saya karena saya mempunyai mereka di sisi saya. Itu lah mungkin sebuah gambaran selama saya berada di MAB. Yayasan MAB membuat saya bersemangat, membuat saya lega, memberi saya banyak motivasi-inspirasi, mengenalkan saya dengan banyak orang yang luar biasa, membuat saya harus lebih peka terhadap orang lain, membuat saya lebih aktif dalam segala hal yang bernilai positif hingga rasanya waktu yang telah saya keluarkan menjadi sangat berarti dan bermanfaat. Terima kasih banyak MAB, mungkin ini lah salah satu jalan berupa bantuan untuk membantuku meraih kesuksesan.

Penulis : Raja Fitrah Aulia, Mahasiswi Teknik Perkapalan UI angkatan 2013, Penerima Beasiswa Pondokan MAB. Raja, mahasiswa asal Garut ini menyimpan potensi yang luar biasa sebagai salah satu atlet tenis meja dan basket dalam kejuaraaan di FTUI, seperti Teknik Cup.

Adalah Ia…

Adalah Ia, bagian penting Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Sebuah yayasan nirlaba yang dikelola Alumni FT UI . Berdiri semenjak 11 tahun yang lalu, 23 September 2003. Hadir dengan visi dan misi yang mulia, bertujuan membantu meningkatkan kecerdasan bangsa, tujuan besar yang kemudian menjadi target untuk terus terlaksana. Dengan uluran tulus tanpa belas kasih, memberikan dukungan demi tercapainya cita-cita bersama. Menjaring setiap mahasiswa dengan semangat tinggi akan pendidikan. Menjaring mahasiswa agar tak pelak berputus asa. Dengan lambang nya yang sarat akan makna, ia terus menjadi inspirasi bagi banyak mahasiswa. Lahir bak air yang terus mengalir,  mencoba memberi support kepada mereka yang membutuhkan, beriringan dengan cita-cita mulia Universitas Indonesia, melahirkan  tunas-tunas bangsa yang menjadi cikal bakal pemimpin Indonesia. Ia telah membuktikan eksistensinya.

Adalah Ia yang kemudian menyadarkan kami sebagai bagiannya, akan perlunya sebuah harapan. Kehadirannya memberikan kami semangat untuk terus berkembang. Tak peduli lembah curam yang telah menunggu didepan. Fokus pada tujuan, terus berkarya meski ‘kekurangan’ selalu menyapa di setiap langkah kehidupan. Tak perlu putus asa akan ‘mahalnya’ pendidikan.  Ia terus meyakinkan, bahwa kami mampu untuk menghadapi apapapun selama kami masih menyimpan harapan.  Untuk itulah, kami harus melangkah dengan satu kepastian.  Juga dengan idealisme yang terus ditanamkan, berharap menjadi suatu nilai tambah yang mengiringi kami dihari kemudian. Salah satunya adalah lewat pelatihan kebangsaan.

Adalah ia yang menyatukan banyak perbedaan. Sabang sampai Merauke bukan lagi sekadar lirik dari lagu kebangsaan. Karena ia, Sabang sampai Merauke kini menyatu dalam sebuah naungan. Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua kini bersama dalam satu tujuan.  Ketika satu menanyakan “aga dipa niku?” yang lain dengan lantang menjawab “bade angkat ka diyek”. Tak peduli apakah jawaban yang diberikan selaras dengan pertanyaan. Hanya tawa yang kemudian datang memecah kebingungan. Momen lain yang juga tak akan terlupakan, ketika liburan usai dan mengharuskan kembali ke tanah rantauan, ada oleh-oleh khas yang masing-masing menjadi kebanggaan, ada balado dari negeri Malinkundang, ada tempoyak dari tanah Radin Intan, dan ada tape bakar, cemilan khas dari dari si ‘air harum’,  Banyuwangi yang saya maksudkan.

Adalah ia, yang membuat kami belajar akan pentingnya makna kebersamaan. Menjadi bagian darinya, adalah suatu hal yang mengagumkan. Kata mereka, disinilah lahir sebuah cinta, namun tak dapat dipungkiri ada kekesalan, kekecewaan, amarah, yang kerap muncul di sela-sela waktu yang menyibukkan. Bukan hal mudah memang, dengan latar yang jauh berbeda, kami dikumpulkan. Tak ada pelatihan khusus untuk menjadi bagian dari keluarga kecil ini. Hanya perlu peredaan emosi dan rasa memahami yang lebih untuk tetap bertahan. Saat kita mampu bertahan, maka sebenarnya inilah yang dinamakan salah satu tempaan. Disinilah kami dituntut untuk memahami hakikat kebersamaan.

Adalah ia, tanggung jawab dan amanah yang akan terus diwariskan. Menyadari akan keberadaan kami di tempat ini adalah suatu kenikmatan, terkadang membuat kami lupa akan tangung jawab besar dan amanah yang secara otomatis diemban saat kami menjadi bagian di dalamnya. Banyak hal yang kemudian harus kami pertanggungjawabkan. Ketika hak telah terpenuhi maka sepatutnya kewajiban juga harus segera dituntaskan. Adalah tanggung jawab kami, untuk menjadi generasi sesuai yang diharapkan, tunas-tunas bangsa yang akan mengabdi dengan totalitas perjuangan. Juga ada amanah yang kami emban, menjadi penggerak perubahan, membawa pengaruh baik untuk Indonesia di masa kini dan masa mendatang.

Adalah ia yang kemudian menjadi tujuan tuk  berpulang. Adalah ia, tempat lelah ini kemudian terlewatkan. Dan adalah ia yang menyatukan perbedaan  atas dasar ketulusan dari sebuah uluran. Adalah ia, MATA AIR BIRU,  yang tanpa mengharap pamrih, semata-mata membantu bangsa dan negara dalam upaya peningkatkan Kecerdasan.

Penulis : Wilujeng Lestari, Mahasiswi Teknik Mesin angkatan 2012, Penerima Beasiswa MAB. Wilujeng atau biasa disapa Wiwi adalah mahasiswi asal Lampung, saat ini Wiwi aktif dalam salah satu unit kegiatan mahasiswa di FT yaitu Teknik Informal School.

Mata Air Biru, Disinilah Lahirnya sebuah Cinta (2)

Awalnya, tak ada yang berbeda dengan teman-teman disini, kami belajar, bercanda dan hidup bersama. Aku pikir tak ada yang istimewa disini, “ah, mereka hanya mahasiswa rantau yang tinggal di pondokan ini, tak lebih”. Kami bangun tidur, bersiap kuliah, pulang, belajar dan kemudian tidur kembali. Kami hanya bertegur sapa seadanya. Hari-hari pertama kulalui dengan perasaan datar. Tak mudah cinta itu lahir diantara kami. Butuh saling terbuka untuk cinta itu dapat merasuki jiwa-jiwa kami. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak kegiatan yang kami lakukan bersama, banyak suka-duka yang kami lalui bersama. Seiiring itulah cinta itu lahir. Akupun tidak merasa kesepian lagi. Aku sudah mendapat keluarga baru. Ya, keluarga baru! Memang, tak ada yang dapat menghapuskan kerinduanku pada ayah ibu serta adik-adikku di kota asalku, namun keluarga baru ini, keluarga yang Allah anugerahkan kepadaku sudah lebih dari cukup untukku berbagi cerita di tempat rantau yang serbakeras.

Kita semua tahu bahwa manusia memiliki kekurangan dan kelebihan, begitupun aku. Aku yang masih kekanak-kanakan dan seringkali ceroboh dalam mengambil keputusan, sangat beruntung memiliki kalian yang bersedia mengingatkanku dan menjadi teman yang asyik diajak diskusi. Nisa yang selalu ada untuk mendengarkan ‘cerita alay’-ku, wiwi dan raja yang sudah bersedia membantuku selama di pondokan, kak mimi dan kak elsa yang sudah menjadi kakak terbaik, Awang yang sudah menjadi partner untuk menjaga ketentraman pondokan, Agus  dan Mahfud yang juga membantu mengurusi internal kami, Irfan, Zaini, Fakhry, Bayu, Arif, Saifan, Oscar, Kak Tama, Kak Wahyu, Kak Fakhri, dan juga kak Bambang serta Kak Rizki yang sudah bersedia direpotkan untuk mengurus adik-adiknya ini yang kadang menjengkelkan. Terima kasih saudariku, dan semua keluarga pondokan MAB, sudah bersedia menjadi potongan puzzle dalam hidupku. Oh ya, satu lagi, si gagah Tiger, kucing penghuni gelap pondokan putri yang selalu menjadi penghilang stress saat masa-masa berat ‘ujian’ itu datang.

Penulis : Siti Awaliyatul Fajriyah (Awa), Penerima Beasiswa Pondokan MAB, Mahasiswi Arsitektur angkatan 2012. Mahasiswa asal Bandung ini aktif dalam Ikatan Mahasiswa Arsitektur sebagai Bendahara Umum.

Pondokan Mata Air Biru : Disinilah Lahir Sebuah Cinta

We cannot tell the precise moment when friendship formed. As in filling a vessel drop by drop, there is at last a drop which makes it run over; so in a series of kindness there is at last one which makes the heart run over. – Samuel Johnson

Pondokan ini tidak besar, namun cukup sebagai tempat beristirahat dari aktivitas keseharian mahasiswa menimba ilmu di kampus. Kita di sini tidak saling mengenal awalnya, namun waktu seakan mengubah kedekatan antara kita menjadi satu keluarga, yang senantiasa mengisi kerinduan pada keluarga di rumah, menyemangati dalam setiap lelah di negeri perantauan ini.

Di pondokan ini kita saling mengenal, berbagi suka-duka, belajar memahami dan mengerti hidup sebagai mahasiswa perantauan demi mengejar cita-cita yang tinggi di kemudian hari. Dari sinilah lahir sebuah cinta: Pondokan Mata Air Biru.

Aku hanyalah satu diantara belasan penghuni pondokan ini, beberapa tahun lalu. Ketika kebutuhan akan tempat berteduh selama menempuh pendidikan di salah satu universitas terbaik di negeri ini tak terpenuhi lantaran uang saku yang tak cukup, bahkan untuk sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pondokan ini jadi alternatif bagi mahasiswa rantau. Disinilah aku mulai belajar.

Keluarga, meski mereka nun jauh disana, tetapi kehadiran teman-teman di pondokan ini mengobati kerinduanku akan keluarga. Dari mereka pun aku belajar untuk saling memahami satu sama lain, meski sifat kita berbeda. Saling menguatkan di kala yang lain dirundung duka. Saling menyemangati disaat butuh semangat. Dan saling melengkapi kekurangan di diri masing-masing.

Kelak, pondokan ini akan terus jadi saksi perjuangan kami dalam mencapai gelar sarjana. Jatuh bangunnya diri kami, saat duka, lara, hingga penuh senyuman bahagia saat semua hampir usai. Meski hanya bilangan tahun kita dipersatukan dalam pondokan kecil ini, namun kenangan yang tersisa tak akan pernah terhapus dari memori kami. Dan mungkin menjadi pemantik bagi kami kelak untuk menjadi seperti mereka yang telah berjasa menyediakan pondokan ini bagi kami. Karena disinilah lahir sebuah cinta, di pondokan Mata Air Biru…. (BS)

 

Catatan : Sukses di Usia Muda

“Recipe for success: Study while others are sleeping, work while others are loafing, prepare while others are playing, and dream while others are wishing.” ~William A. Ward

Jum’at lalu, tiga orang penghuni pondokan yang selama ini dekat dan telah menjadi bagian dari keluarga MAB berhasil menyelesaikan kuliahnya. Akhir dari perjuangan menimba ilmu selama empat tahun di kampus tercinta, juga awal dari perjalanan hidup untuk mengejar cita.

Senin ini, kehidupan kampus kembali lagi dimulai. Ketika sebagian dari mahasiswa lama yang telah menyelesaikan masa pendidikannya menanggalkan status mahasiswanya, sebagian lain masih tersisa. Siswa SMA kini menggantikan posisi mereka, menyandang status baru sebagai mahasiswa.

Pondokan MAB mulai senin ini pun sama. Kembali penghuninya memulai aktivitas di kampus. Kembali bergelut dengan buku-buku dan rumus-rumus keteknikan. Kembali berjuang untuk menyelesaikan pendidikan tinggi di kampus tercinta: Fakultas Teknik UI.

Semua siklus itu silih berganti dari waktu ke waktu. Dari hari ini hingga masa mendatang. Paman William A. Ward memberikan kita resep untuk mencapai kesuksesan yakni dengan Belajar ketika yang lain tertidur, bekerja ketika yang lain sedang malas, mempersiapkan diri ketika yang lain sedang bermain, dan bermimpi ketika yang lain hanya bisa berharap.

Sukses dalam hidup dimulai ketika kita muda, dimulai saat ini dan akan menentukan menjadi seperti apa kita nanti. Selamat meraih kesuksesan!

Publikasi