MAB News

Home»Berita FTUI»Mozaik Kehidupan di Asrama MAB

Mozaik Kehidupan di Asrama MAB

Kehidupan di asrama beasiswa mab

Kehidupan berasrama memang mengandung banyak cerita. Mulai dari cerita lucu, asik, menegangkan, hingga yang sedih.

Semua cerita itu menambah warna pada keseharian seorang anak asrama, bagai kepingan warna-warni yang menjadikan jendela mozaik terlihat indah dan megah disandingkan dengan kesunyian gedung-gedung tua eropa.

Sebagai anak perantauan yang tinggal serumah dengan anak perantauan lainnya, aku banyak terpapar kejadian-kejadian yang sukses menghiasi hari-hari kuliah yang lumayan membosankan. Bagaimana tidak membosankan, perjalanan kuliah dari rumah melalui jalan yang selalu sama setiap harinya, begitu juga jalan pulang. Datar. Bosan. Namun, keberadaan anak-anak perantauan lainnya di rumah menjadikan kebosanan itu sedikit terobati.

Dalam satu rumah, kami ada delapan orang plus satu orang pembina. Sembilan kepala dalam satu rumah artinya ada sembilan kepentingan dengan tujuan berbeda dalam satu atap. Ramai. Rentan akan terjadinya konflik. Namun seperti kata orang bijak, “Tanpa konflik, hidup tidak akan terasa hidup”. Konfliklah yang menjadi bumbu dalam kehidupan. Ibarat garam, masakan tanpa keberadaannya akan terasa hambar. Konflik dibutuhkan dalam hidup seperti garam dibutuhkan dalam makanan. Namun tujuan kita bukanlah mencari atau membuat-buat konflik. Yang harus kita lakukan adalah memanfaatkan konflik untuk menjadi yang lebih baik di masa mendatang.

Jika anak kos pada umumnya tinggal sendiri dalam satu kamar, dalam satu rumah kami tidur berempat dalam satu kamar. Empat orang dalam satu kamar menjadikan diferensial perbedaan-perbedaan yang sangat banyak. Mulai dari empat waktu tidur yang berbeda, empat kebiasaan tidur yang berbeda, empat tingkat kesulitan bangun tidur yang berbeda, serta yang paling pasti adalah empat dering alarm yang berbeda-beda kebisingannya. Hahaha. Yap, pada jam-jam tertentu di pagi buta, biasanya akan ada saja dering alarm yang menghiasi tidur kami diatas jam tiga pagi. Alasannya beragam, mulai dari yang ingin bangun untuk tahajjud, bangun untuk belajar, sampai yang hanya menjadi dering penghias mimpi karena tidak cukup ampuh untuk membangunkan orang tersebut.

            Saat waktu Sholat Subuh tiba, salah satu dari kami yang paling rajin di rumah pasti akan terbangun dan mulai membangunkan yang lainnya. Membangunkan seluruh anggota rumah menjadi pekerjaan rumah yang cukup memakan tenaga. Karena tidak semua tidur dengan durasi yang sama. Ada yang sudah bangkit dari tidurnya, duduk di kasur sembari menunggu iqomah berkumandang, namun karena ada sesuatu yang menyebabkan otot-otot penyangga yang berada di punggungnya melemas hingga akhirnya dia jatuh dan kembali terlelap.

Setelah subuh, biasanya kita lanjutkan dengan membaca Al-Quran serta Hadist sebagai sarana recharge iman, kemudian dilanjutkan dengan sesi forum. Sesi forum isinya beragam, mulai dari pengumuman barang hilang, pengumuman kegiatan, permasalahan seputar pelaksaan piket yang tidak berjalan dengan semestinya, sampai ‘lelang’ piring kotor. Jika ada piring kotor yang tidak dicuci pada tempat cuci piring, maka piring tersebut akan dilelang sampai diakhiri dengan ada yang mengakui, atau lebih seringnya sampai si petugas piket yang urusan mencuci mau mengambil alih piring tersebut. Begitulah, forumnya fleksibel, tidak seperti forum rapat anggota BPUPKI ketika merumuskan Pancasila atau forum-forum menegangkan serta membosankan lainnya.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, kami semua adalah anak-anak perantauan. Ada dua orang yang dari Sulawesi, satu orang dari Kalimantan, empat orang dari Jawa, serta dua orang dari Sumatera. Beragam, beragam bahasa daerah, beragam budaya daerah, beragam logat yang menghiasi percakapan sehari-hari di rumah. Bahasa daerah sering tercampur dengan bahasa sehari-hari, sehingga cukup sering “itu artinya apa sih?”, “maksudnya apa sih?”, dan “jangan pakai bahasa daerah dong!” terucap ketika di rumah. Cukup bisa membuat terhibur ketika salah seorang dari kami kesulitan menjelaskan salah satu istilah dalam bahasa daerahnya ke dalam bahasa Indonesia.

Kehidupan di asrama beasiswa mab

Dengan banyaknya orang dalam satu rumah, maka akan ada banyak hobi-hobi yang dimiliki setiap orang. Ada yang hobinya olahraga, baca, nonton, main, diam (ya, hobinya berdiam diri), tidur, belajar, sampai yang hobi masak. Bukan masak air atau mie instant, namun masakan khas rumahan yang biasanya dimasak oleh ibu-ibu kita. Sehingga si tukang masak tersebut mendapat julukan mamak karena lihainya dia ketika memasak dan berbelanja sayur.

Kehidupan asrama memang menawarkan banyak hal. Ada begitu banyak hal yang bisa menghilangkan rasa bosan, serta menjadi penawar rasa galau akibat belum terjawabnya kisah cinta. Semua perbedaan hobi, asal daerah, tugas piket, kepentingan, sampai perbedaan dering alarm menjadi indah dibalut dengan krim manis yang lezat ditambah kepingan biskuit susu yang nikmat, eh maksudnya akan menjadi indah jika dibalut dengan rasa toleransi serta pengertian yang tinggi antar sesama anggota rumah.

Disinilah aku tinggal, dimana perbedaan membuat kita dekat, dan perbedaanlah yang menyatukan kita. MAB.~

 —-

Huzaifi mahasiswa teknik perkapalan 2015Cerita ini ditulis oleh :

Muhammad Hanzallah Huzaifi, Mahasiswa Teknik Perkapalan 2015 yang merupakan penerima Beasiswa MAB asal Medan.

Written by

A Passionate Environmental Leaders concern on education styrofoam and waste issues, an NGO enthusiastic, a social worker who commit happily in voluntary works, A Design Thinker and Adviser for youth movement. Find me more at www.bamsutris.com